Mari kita jelajahi kisah hukum Islam pada abad ke-21, di mana tradisi bertemu dengan modernitas, dan iman menyatu dengan sistem hukum.
Di metropolis yang luas bernama Al-Qalb, di mana tanda neon berkedip bersama menara masjid, hiduplah seorang pria bernama Yusuf. Dia bukanlah seorang sarjana biasa; dia adalah Mufti Digital—seorang penengah hukum Islam di era algoritma dan tanda pagar.
Bab I: Fatwa Virtual
Yusuf duduk di kantornya yang berantakan, dikelilingi oleh naskah-naskah kuno dan layar-layar bercahaya. Pengikutnya tersebar di seluruh benua, mencari panduan tentang masalah-masalah yang mendalam dan sehari-hari. Mereka mengirim pesan melalui aplikasi terenkripsi, pertanyaan mereka tiba seperti bisikan-bisikan surga.
Suatu hari, seorang wanita muda bernama Amina menghubunginya. “Mufti Digital,” tulisnya, “saya bekerja di sebuah startup teknologi. Apakah boleh berinvestasi dalam blockchain? Apakah pendapatan saya halal?”
Yusuf merenung. Al-Quran berbicara tentang perdagangan yang etis, tetapi blockchain adalah wilayah yang belum terjamah. Dia memeriksa teks-teks klasik, kemudian whitepaper terbaru. Akhirnya, dia menjawab: “Blockchain, seperti alat lainnya, dapat digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Jika niat Anda baik, lanjutkan—namun berhati-hatilah.”
Bab II: Ruang Sidang Cyber
Gedung pengadilan Al-Qalb ramai dengan aktivitas. Hakim Farid memimpin kasus-kasus yang melampaui batas negara. Seorang peretas dituduh mencuri data sensitif, perceraian dipersengketakan melalui Zoom, korban skema kripto mencari restitusi—semua di bawah pengawasan hukum Islam.
Farid berjuang dengan kompleksitas. Apakah kontrak pintar mengikat? Bisakah AI berfungsi sebagai saksi? Dia berkonsultasi dengan ayat-ayat Al-Quran tentang keadilan, mencari panduan dalam piksel dan kode.
Bab III: Algoritma Gender
Di jalanan yang ramai, Layla berjuang untuk keadilan. Dia seorang pemrogram pada siang hari, seorang feminis dengan keyakinan. Aplikasinya, “Equal Inheritance,” menghitung bagian bagi pewaris perempuan—pemberontakan digital terhadap norma patriarki.
Namun para ulama menentang. “Warisan sudah ditetapkan,” mereka menyatakan. “Leluhur kita tahu yang terbaik.”
Layla tetap gigih. Dia mengutip panggilan Al-Quran untuk kesetaraan. Dia memprogram algoritma yang membagi harta secara adil. Dan ketika Mufti Digital mendukung aplikasinya, revolusi diam-diam dimulai.
Bab IV: Kecerdasan Buatan Etis
Yusuf menghadapi tantangan terbesarnya: yurisprudensi berbasis AI. Bisakah mesin memahami belas kasihan, kasih sayang, dan niat? Dia berjuang dengan jaringan saraf dan hikmah ilahi.
Suatu hari, mobil otonom menabrak seorang pejalan kaki. Apakah itu pembunuhan tidak sengaja? Pengadilan berkumpul—hakim manusia, algoritma AI, dan Mufti Digital. Mereka membahas pertanggungjawaban, niat, dan ketidakbernyawaan silikon.
Yusuf berkata: “Keadilan melampaui sirkuit. Belas kasihan juga. Jangan lupakan kemanusiaan kita.”
Dan begitulah, di lorong-lorong Al-Qalb yang berpendar neon, hukum Islam berkembang. Mufti Digital menavigasi dunia maya, Hakim Farid menyeimbangkan tradisi dan inovasi, kode Layla berbisik tentang kesetaraan, dan Kecerdasan Buatan Etis merenung